Senin, 29 April 2019

SENI CINGCOWONG DARI KUNINGAN JAWA BARAT


CINGCOWONG KESENIAN  TRADISI MASYARAKAT DESA LURAGUNG, KUNINGAN JAWA BARAT

Ditulis oleh:



Euis  Karmila
NIM 18123011
Mahasiswi Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
Jurusan Seni Karawitan

Gambar 1 (ritual seni cingcowong)



Cingcowong merupakan  kesenian  khas yang berasal dari Kabupaten Kuningan tepatnya di  Desa Luragung Kecamatan Luragung Kabupaten .Cing cowong merupakan seni ritual meminta hujan  dengan medianya yang khas yaitu jejelmaan atau orang sunda menyebutnya dengan sebutan bebegig atau bisa berupa boneka perempuan yang berparas cantik. Kesenian ini ada sekitar tahun 1990an  yang diciptakan oleh seseorang yang bernama ‘’ Eyang Nata’’.Upacara ini dilakukan secra turun temurun oleh masyarakat di Desa  Luragung.
Dalam pelaksanaannya terdapat pemimpin upacara yang sering dipanggil sebagai ‘Punduh’, yaitu sesepuh setempat yang bisa memanggil hujan melalui kekuatan alam. Peralatan yang digunakan dalam tradisi ini, antara lain taraje, samak, cermin, sisir, bunga kamboja, dan boneka cingcowong.
Boneka Cingcowong merupakan boneka yang terbuat dari batok kelapa yang kemudian dihias atau dirupakan sebagai perempuan cantik yang bertubuhkan bambu dengan baju dan ornamen lainnya.

Gambar 2 (boneka cingcowong)

Boneka ini dihias sebaik mungkin karena dianggap akan menjadi sarana makhluk halus untuk berdiam saat upacara dilakukan. Selama prosesi upacara, boneka ini akan bergerak ke sana ke mari dengan sendirinya dan diharapkan pada akhir dari rangkaian acara ini hujan akan turun dalam beberapa waktu kemudian.
Menurut Nawita, yang merupakan cucu Rasih dari generasi  keempat, seorang punduh dipilih bukan karena kedekatan atau telah direncanakan terlebih dahulu tetapi berdasarkan panggilan batinnya atau atas dasar bisikan gaib. Kemudian calon punduh yang terpilih akan diwariskan mantera pemanggil hujan serta tata cara pemanggilan hujan. Calon punduh tersebut juga diwajibkan terlebih dahulu melakukan puasa sebelum ia dibekali dengan kemampuan menjalankan tradisi Cingcowong sebagai punduh.
Pertunjukan Cingcowong dipagelarkan oleh 6 orang yang memiliki tugas masing-masing, diantaranya: Punduh Ibu Nawita, beliau adalah satu-satunya punduh (kuncen) Cingcowong di Kabupaten Kuningan, Punduh merupakan pemimpin upacara Cingcowong yang dengan kemampuannya dipercaya masyarakat setempat dapat mendatangkan hujan melalui perantara boneka Cingcowong. Pembantu punduh yaitu Hj. Itit dan Nining Waskini mereka bertugas membantu punduh Nawita dalam memegang boneka cingcowong. Ibu warsinah memainkan alat musik berupa ‘buyung’, yang biasa dipakai sebagai alat penyimpan air terbuat dari tanah liat. Ibu Kaseh memainkan alat musik berupa ‘bokor’ atau ‘ceneng’ yang biasa dipakai sebagai vas bunga terbuat dari bahan tembaga/kuningan. Ibu Wartinah berperan sebagai Sinden.
                                
                                         
  Lahirnya kesenian ini dipengaruhi  oleh  aspek geografis. Ini di karena kan  mayoritas penduduk di Kabupaten Kuningan   bermata pencaharian sebagai  petani. Kabupaten Kuningan yang merupakan daerah pertanian yang subur dan sebagai  penghasil berbagai hasil bumi unggulan. Tetapi ketika kekeringan melanda akibat kemarau yang panjang, semua menjadi berubah. Hutan mengering, sumber air menghilang, lahan pertanian pun tidak lagi subur. Inilah yang mendorong masyarakat Kabupaten Kuningan , khususnya masyarakat di Kecamatan Luragung menggelar berbagai ritual guna meminta hujan yang diawali dengan sintren. Dari ritual tersebut diperoleh ’’wangsit’’,agar masyarakat  menggelar ritual Cingcowong.  Penyelenggaraan ritual biasanya dilaksanakan pada malam jumat sekitar pukul 17.00. Pada zaman dahulu, upacara cingcowong dilaksanakan pada waktu kemarau panjang.
Semakin berkembangnya pengetahuan masyarakat tentang Agama Islam, kepercayaan ini semakin luntur, sehingga sekarang hanya dianggap sebagai budaya atau kebiasaan saja meskipun menurut masyarakat apabila ritual ini diselenggarakan hujan memang turun.
Tahun 2004 hingga sekarang cingcowong ditampilkan dalam bentuk seni tari untuk menghindari musyrik.  di era sekarang  cingcowong disajikan secara lebih  modern  sehingga mengurangi esensi upacaara memanggil hujan Cingcowong dapat  dipentaskan kapan  dan dimana  saja dengan tujuan yang lebih  umum  dan terkesan  lebih komersil.
Nawita satu-satunya seniman Cingcowong yang berjasa mengembalikan kesenian ritual ini di Kabupaten Kuningan. Wanita berusia 68 tahun itu berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai tradisi masyarakat Blok Wage Desa Luragung Landeuh, Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan ratusan tahun lalu itu agar tidak punah.
Nawita sering tampil memainkan Cingcowong dalam berbagai acara, bahkan dia tak jarang pula mendapatkan undangan untuk tampil berkolaborasi lewat sebuah tarian Cingcowong seperti dalam pagelaran Seni dan Kebudayaan mulai tingkat Kecamatan, kabupaten, bahkan pertunjukan di Cirebon dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Berkat Nawita, Cingcowong yang dulu hanya ditampilkan pada acara ritual pemanggil hujan, kini menjadi tontonan masyarakat. Bahkan, seniman lain di Kuningan berupaya untuk mengadopsi Cingcowong menjadi sebuah tarian yakni Tari Cingcowong. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan pun turut serta melestarikan kembali Cingcowong.

Sumber dan Dokumentasi diambil dari :
Skripsi Edi Kusnadi (STSI 2001)  SENI  CINGCOWONG DI DESA LURAGUNG LANDEUH KECAMATAN LURAGUNG  KABUPATEN KUNINGAN. 





1 komentar:

kata-kata mencerminkan jati diri =)

JANAKA SUNDA, SENI LAWAK SUNDA

JANAKA SUNDA Ditulis oleh: Syalman Andriandani NIM: 18123036 Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, jurusan seni karawit...