TARAWANGSA
Ditulis oleh:
Sania Putri Oktaviani A
NIM 18123005
Mahasiswi institut seni budaya Indonesia Bandung
Jurusan seni karawitan.
Gambar 1 (pertunjukkan tarawangsa pada kegiatan P-kas 11) |
Tarawangsa merupakan salah satu kesenian masyarakat sunda yang berasal dari Desa Rancakalong, Sumedang, Jawa Barat. Kesenian ini berfungsi sebagai ritual, dimana kesenian ini melakukan sebuah upacara penghormatan kepada Nyai Sri Pohaci atau Dewi Sri atau Dewi Padi, ritual ini dilakukan atas dasar rasa syukur atas hasil panen.
Dalam Skripsi Teguh Adi Permana (Alumni ISBI Bandung), mengutip pendapat Luki Hendrawan, Tarawangsa merupakan salah satu kesenian yang identitas estetikanya terletak pada unsur musik. Secara Etimologi, Tarawangsa berasal dari tiga gabungan kata yaitu Ta- Ra – Wangsa. Ta merupakan akronim dari kata ‘Meta’ (Sunda) yang artinya pergerakan, Ra berarti api yang agung sama dengan arti Ra dalam bahasa Mesir, analogi api yang agung adalah matahari dan kata Wangsa yang merupakan sinonim dari kata Bangsa, yang berartikan makhluk yang hidup menempati satu wilayah/alam dengan aturan-aturan yang mengikatnya. Jadi, Tarwangsa dapat diartikan sebagai “Kisah Kehidupan Bangsa Matahari”. Dengan kalimat lain, Tarawangsa merupakan kesenian penyambutan atas hasil panen padi yang tumbuhan itu bergantung kepada matahari sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan YME.
Kesenian ini menggunakan dua jenis waditra, yang pertama tarawangsa itu sendiri yang merupakan alat musik yang dibunyikan dengan cara digesek, namun bentuknya berbeda dengan alat musik gesek lainnya seperti rebab. Menurut Ubun Kurabarsah, Tarawangsa di daerah Sumedang disebut Ngekngek. Istilah tersebut diambil dari hasil bunyi alat musik tersebut, yang ketika dimainkan dengan cara digesek menghasilkan bunyi ‘ngeeek’ , jadi Tarawangsa disebut juga dengan sebutan “Ngekngek”.
Gambar 2 (alat musik ék ék) |
Tarawangsa merupakan alat musik kordofon yaitu alat music dawai yang sumber bunyinya berupa ruang resonator. Selain tarawangsa, kesenian ini juga menggunakan alat musik kacapi yang dibunyikan dengan cara dipetik, namun kacapi ini juga disebut dengan sebutan jentreng, karena dilihat dari hasil bunyi ketika dimainkan. Berbeda dengan kacapi kawih maupun tembang, jentreng ini memiliki tujuh dawai saja. Hal itu menggambarkan jumlah hari pada satu minggu sebagai penghargaan atas kala bagi para petani dalam menunggu hasil panen. (Dikutip dalam Skripsi Teguh Permana, hasil wawancara Cece).
Gambar 3 (pertunjukkan tarawangsa) |
Tidak hanya di Rancakalong, Sumedang, kesenian Tarawangsa ada juga diberbagai daerah di Jawa Barat. Misalnya di daerah Cibalong, Tasikmalaya, di daerah banjaran, Kab. Bandung dan juga di daerah Kanekes, Provinsi Banten. Sampai saat ini, kesenian tarawangsa masih hidup dan berkembang di daerah-daerah tersebut yang berfungsi sebagai upacara ritual.
Efek dari fungsinya sebagai upacra ritual, tarawangsa pun merambah menjadi pertunjukan di luar kepentingannya sebagai media upacara. Seperti yang terjadi di Rancakalong, Sumedang, selain sebagai media upacara ritual atau “Ngalaksa”, tarawangsa juga berfungsi sebagai media hiburan yang ditampilkan dalam acara hajatan maupun dalam perayaan hari-hari besar.
Sumber tulisan : Skripsi Karya Penyajian Teguh Permana yang berjudul “Narawang Mangsa” Intitut Seni Budaya Indonesia Bandung tahun 2015
Sumber Foto : Foto 1 diambil dalam kegiatan P-Kas Februari, 2019.
Foto 2 diambil oleh Penulis di Museum Sri Baduga Bandung Pada Mei, 2019.
Foto 3 diambil dalam kegiatan P-Kas Februari, 2019.
numpang share ya min ^^
BalasHapusHayyy guys...
sedang bosan di rumah tanpa ada yang bisa di kerjakan
dari pada bosan hanya duduk sambil nonton tv sebaiknya segera bergabung dengan kami
di DEWAPK agen terpercaya di tunggu lo ^_^