Selasa, 28 Mei 2019

JANAKA SUNDA, SENI LAWAK SUNDA

JANAKA SUNDA
Ditulis oleh:
Syalman Andriandani
NIM: 18123036
Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, jurusan seni karawitan.

Gambar 1 (pertunjukkan jenaka Sunda secara konvensional)

Janaka Sunda atau Kacapi Janaka Sunda, merupakan seni pertunjukan yang berasal dari Jawa Barat yang menyajikan lagu-lagu bertema janaka, diiringi petikan kacapi dengan irama bebas (ajeg). Penyajian Janaka Sunda mempergunakan waditra Kacapi siter, bisa ditampilkan oleh seorang atau dua orang pemain.
Penampilan Janaka Sunda yang komunikatif dapat menciptakan suasana penuh kegembiraan. Lagu-lagu bergaya jenaka (humor) dengan mimik muka yang lucu dari para pemainnya mengandung daya tarik tersendiri, hingga para penonton yang mendengarkan dibuat tertawa.
Seniman penggarap Janaka Sunda yang paling populer dewasa ini, dikenal dengan nama Utun atau Mang Utun dan Mang Dekok (Ekok).
JANAKA SUNDA UTUN UKOK
    Mang Utun dan Mang Dekok bermain janaka sangat kompak. Keterampilannya membawakan teknik vokal bernada tinggi dalam lagu-lagunya terkesan tetap ringan dan sangat spontan.
    Dibawah ini terdapat contoh lirik lagu Janaka Sunda, banyak yang berbentuk lirik sindiran :
“Trak Trek Trok jalan ka kontrak
gurutuk sora keretek, dsb.
Triliktik sora jangkrik
Toroloktok sora londok, dsb.
Anak hayam turun sapuluh (anak ayam turun sepuluh)
Paeh hiji tinggal salapan (mati satu tinggal sembilan), dsb”.
    Lirik lagu seperti diatas selalu diiringi dengan petikan kacapi yang bersifat humor. Selain itu ia menampilkan mimik muka yang menggambarkan kelucuan, kesedihan, dan kemarahan. Mimik muka dalam gambaran diatas diwujudkan melalui bentuk bibir dengan posisi mulut yang khas.
    Dilihat dari segi irama, petikan Kacapi Mang Utun kadang-kadang berirama bebas dan kadang-kadang berirama konstan. Pada dasarnya irama-irama lagu itu ditampilkan menurut kehendak hatinya, namun tetap memperhatikan akhir kalimat lagu. Kalimat-kalimat lagu disajikan dengan irama yang tidak stabil, yang terpenting adalah lengkingan suara, alunan suara, ornamentasi teknik vokal dan gaya improvisasinya.
Tahun 1945 Mang Utun belajar Janaka Sunda kepada seniman bernama Holil dan dilanjutkan belajar Mang Eon Muda (Mang Ganda) serta Mang Olas yang terkenal dengan sebutan Mang Ecle atau Mang Ehe. Pada jamannya, Mang Eon dan Mang Ehe sangat terkenal kejenakaannya dalam ogel. Sehingga timbulah ungkapan “Ngeunah Ehe teu ngeunah Eon” yang sangat populer di masyarakat Jawa Barat saat itu.
Untuk meneruskan kelangsungan hidup Janaka Sunda, Mang Utun telah melatih Dayat Hidayat (Mang Dekok) dan Mang Syarip sebagai muridnya. Di lingkungan ASTI/STSI Bandung, dengan gayanya yang khas Yoyon Darsono bersama Tarjo pernah menggarap Janaka Sunda.

Gambar 2 (pertunjukkan jenaka Sunda modern)


JANAKA SUNDA GAYA MEMENIRAN
    Penampilan Janaka Sunda dahulu, biasa disebut memeniran (gaya menir). Memeniran mulai hidup di Jawa Barat sekitar tahun 30an. Para tokohnya saat itu diantaranya Epen Sutardi yang terkenal dengan lagu-lagu stek Orkesnya (Orkes Kacapi). Pada waktu itu masih sempat direkam dalam bentuk piringan hitam Canary Record dilema Dilema Record. Lagu-lagu yang direkam dalam piringan hitam Canary Recod antara lain: Bobodoran Gatotkaca Ngapung, Bobodoran Sapatu Weteuh, Bobodoran Cerik Epen dengan kacapi orkesnya bernama “Sari Pangluyu” direkam oleh Dilema Record. Lagu yang terkenalnya diantaranya “Balon Ngapung” diciptakan pada jaman Jepang tatkala di Alun-alun Bandung diadakan upacara menerbangkan Balonn-balon
    Tokoh Janaka Sunda yang sebaya adalah Husen yang dikenal dengan menir. Kemudian dilanjutkan oleh muridnya yang terkenal dengan julukan Menir Muda (nama aslinya Holil). Petikan kacapinya saat itu dikenal dengan “Si Cakar Harimau” atau “Cakar Maung”. Karena petikannya yang sangat terampil dan mengesankan para penonton.


    Dalam pementasannya ia dibantu oleh seorang kawannya bernama Mang Oyon. Sedangkan dalam rekaman kecapinya dibantu oleh seorang pesinden bernama Eros Rostika. Lagu-lagu yang direkam oleh Canary Record diantaranya lagu Bapak Tani, Bobodoran Menir Muda, Bala Wiri, Dewi Asri, Gendu, Kopi Susu, Polos Gado-gado, Silir Menangis, Lingkung Lembur, Bela Pati, Persatuan Meri, Ros Bungbulang, Suasana Baru, Kacang Asin, Paron, Goyong, Balenderan, Sorban Bandung, Salah Sangka, dan Coyor Gado-gado.


Sumber    
Buku “Ragam Cipta” 
karya :
Atik Soepandi, S. Kar 
Drs. Enip Sukanda. P
Drs. Ubun Kubarsah. R
Sumber Foto     :
 Buku “Ragam Cipta”
Dokumen P-KAS 11

Senin, 20 Mei 2019

TARI DOGER

TARI DOGER

ditulis oleh:

Benny herdian
NIM 18123017
Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
Jurusan seni karawitan.


Gambar 1 ( pergelaran tari Doger)

    Istilah doger sering disebut-sebut dalam dunia senipertunjukan khususnya di jawbarat sebagai salah satu jenis kesenian tradisionalyang lahir dan berkembang di dataran pantai utara jawa barat, antara kabupaten subang dan kabupaten karawang. Dalam arti yang luas menunjuk kepada satujenis pertunjukan rakyat, yang apabila dilihat dari segi fungsinya merupakn alat untuk hiburan atau sarana pergaulan.
    Di dalam Kamus Bahasa Sunda, Doger mengandung pengertian “tongtonan  atawa kamonesan rayat make ronggeng budak parawan, diigelan”. (LBBS. 1983: 112). Batasan yang ada dalam Kamus Bahasa Sunda menganai penarinya yang masih perawan tampaknya bukan tanpa sadar, dan mengenai hal ini akan terlihat pada uraian tentang perkembangan Doger selanjutnya.
    Pada perkembangan selanjutnya, istilah Doger dipakai untuk menyebut nama kepada  penari wanita  dalam pertunjukan tersebut. Lilis Sumiati dalam tulisannya menyebutkan tentang tari rakyat Jawa Barat bahwa :
Doger adalah merupakan jenis tari rakyat yang termasuk dalam kategori Ketuk Tilu. Hidup di pesisir utara anatar kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang. Sistem pertunjukannya adalah ngamen berkeliling ke setiap tempat. Dapat pula dikategorikan tari pergaulan karena di dalamnya ada penari pria (Pamogaran) dan wanita (Doger). (Kapita Selekta Tari, 1996:7)
Keterlibatan para penari  wanita didalamnya tidaklah semata-mata berhubungan dengan kepentingan ekonomi saja, tetapi ada diantaranya yang bertujuan mencari pengalaman ataupun untuk mendapatkan jodoh .
-bentuk pertunjukan doger
Dalam data data yang terkumpul diperoleh gambaran bahwa bentuk pertunjukan Doger antara tahun 1920-1960-an atau jaman penjajahan belanda dan jepang sampai pada masa revolusi adalah merupakan pertunjukan keliling (ngamen), sehingga waktu dan tempatnya tida bisa di tentukan karena selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang mereka inginkan atau karena adanya permintaan dari masyarakat.
Biasanya pertunjukan kesenian doger biasa di pentaskan di tempat-tempat terbuka dan berlangsung pada malam hari mulai dari pukul 20.00 sampai dengan pukul 23.00, bahkan bisa sampai semalam suntuk
Jumlah penari wanita yaitu antara 7-12 orang ,pemusik(nayaga) jumlahnya antara 5-6 orang dan ditambah 1 orang lurah kongsi sebagai pimpinan rombongan
Alat alat yang digunakan satubuah kendang indung (kendang besar), dua buah kulanter (kendang kecil),satubuah tarompet , kecrek , satubuah gemyung (jenis rebana dengan ukuran paling besar), dua buah dog-dog kecil (sejenis bedug dengan ukuran paling kecil ) yang disebut kentrang. Perlengkapan lain dari pertunjukan doger adalah sebuah oncor, yaitu semacam alat penerangan yang bersumbu. Oncor tersebut terbuat dari kaleng berukuran cukup besar, di sampingnya terdapat tiga mata api, dan memakai tiang penyangga terbuat dari bamboo. Yang ukuran tingginya kurang lebih 2 meter atau ssedikit lebih tinggi dari ukuran tinggi manusia pada umumnya. Lagu-lagu yang dibawakan pada musik pembuka (overture) atau tatalu adalah lagu-lagu yang sering juga digunakan oleh kesenian tradisi pada umumnya, seperti  ; karatagan, kebo jiro dan karangrangan.
Pada urutan selanjutnya setelah lagu-lagu tataluan selesai dibawakan, dilanjutkan dengan masuknya beberapa penari wanita ke dalam arena pertunjukan, yang sebelumnya (ketika tatalu sedang berlangsung) telah berbaris di samping kanan posisi gamelan, mereka berjalan mengelilingi oncor dengan dipimpin oleh seorang penari pembarepi primadona atau sri panggung (biasanya penari yang paling cantik dan paling pandai menarinya).  Pakaian yang digunakan oleh para penari ini adalah kain sinjang, kaos oblong, sempol/apok, kewer, epek dan sebuah selendang yang digantungkan pada kedua bahu.  Adapun tarian yang dilakukan pada bagian ini adalah gerak berjalan memutar mengelilingi oncor dengan iringan lagu Arang-Arang Doger dan biasa disebut dengan Arang-Arang.
    -Pertumbuhan  dan penyebaran kesenian Doger di Subang
    Doger merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang hidup dan tumbuh subur didaratan utara kabupaten Subang Jawa Barat, dan diperkirakan pertumbuhan kesenian ini pada zaman penjajahan Belanda, Jepang sampai dengan pertengahan tahun 1960-an di sekitar daerah Pabuaran, Patok Beusi, Ciasem, Purwadadi, Manyingsal dan sekitarnya (Idit Supardi Madiana Wawancara  di Subang, 20 Januari 2001).
    Penyebaran kesenian doger hanya bersifat pertunjukan-pertunjukan saja, dalam arti  tidak mendidik secara langsung (mengadakan pengkaderan) untuk membuat penambahan grup-grup baru, sehingga kalaupun ada grup-grup baru sifatnya hanya peniruan saja dari akibat pertunjukan keliling kesenian Doger.
    Seperti kesenian tradisional pada umumnya bahwa, pertumbuhan serta penyebaran terjadi karena sifat penularan atau peniruan tidak langsung, sehingga tidak heran apabila kesenian tradisi sangat jarang diketahui penemu atau penciptanya.
    -Fungsi Kesenian Doger
    Di Subang Doger berfungsi sebagai sarana hiburan dan pergaulan, ini bisa dilihat dari bentuk pertunjukannya yang mengungkapkan rasa kegembiraan rakyat secara langsung sehingga terjadi komunikasi (seni yang kemunikatif), dengan demikian Doger menunjukan ciri sebagai pertunjukan seni yang bersifat profan.
   
Sumber : Skripsi Cahya Nugraha Karawitan 2015 ISBI Bandung
Sumber foto : Dokumentasi Tanthi okta

GAMELAN SARI ONENG MATARAM, HADIAH ADU KEMIRI

GAMELAN SARI ONENG PARAKAN MATARAM

Ditulis oleh:
Nandi apriansah
NIM: 18123011

Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
Jurusan seni karawitan.


Gambar 1 (gamelan sari Oneng Mataram)

Gamelan sari oneng mataram merupakan salahsatu gamelan kuno koleksi museum Prabu Geusan Ulun Sumedang.  Gamelan ini merupakan pemberiandari mataram yang diterima pada tahun 1691 oleh Pangeran Panembahan (Rangga Gempol III) sebagai hadiah atas kemenangan Senapati Sumedang terhadap Senapati Mataram pada permainan adu kemiri.
Gamelan Sari Oneng Mataram berlaras pelog dan terbuat dari perunggu.  Hingga saat ini, Gamelan Sari Oneng mataram masih terlihat bagus dan belum ada kerusakan yang berarti.  Bilah-bilah dan penclon-penclonnya masih terawat dengan baik, begitupun dengan ancak-ancaknya, tidak terlihat adanya kerusakan yang berarti.  Ancaknya terbuat dari kayu jati.
Gamelan Sari Oneng Mataram merupakan seperangkat ensambel yang terdiri dari: Bonang, Rincik, Saron, Panerus, Peking, Sulikat, Katipul, Ketuk, Selentem, Gambang, Rebab, Kendang,dan Goong.  Di antara perangkat tersebut terdapat tempat menyimpan Rebab yang mempunyai Candra Sangkala “Bradanggadi Radia Kagurnitaning Wong” yang artinya Gamelan Agung kepunyaan Raja yang terkenal.
Gamelan Sari Oneng Mataram saat ini dipakai sebagai pengiring latihan tari di Padepokan Seni Dangiang Kutamaya setiap hari Minggu. Selain itu, gamelan ini secara rutin ditabuh setiap hari Kamis minggu pertamaan ketiga sebagai upaya penggalian kembali lagu-lagu (gending) buhun peninggalan leluhur Sumedang.  Gamelan ini masih cukup terawat.  Perawatan khusus masih dilakukan, yaitu setiap bulan Mulud.  Pada bulan ini gamelan ini dicuci bersama-sama dengan benda-benda pusaka lainnya dalam acara tradisi Pajang Jimat sekaligus memperingati Maulud Nabi Muhammad saw. Sepuluh hari menjelang acara tersebut gamelan ini tidak ditabuh.
Gamelan Sari Oneng Mataram dari dulu hingga sekarang adalah sebagai sarana hiburan para bupati.  Hiburan yang dimaksud disini bisa sebagai hiburan untuk kalangan mereka sendiri ataupun untuk tamu-tamu khusus yang datang ke lingkungan mereka.  Tamu-tamu khusus pada zaman dahulu misalnya utusan dari kerajaan atau kebupatian lain.  
Gambar 2 (koleksi museum Sumedang)

Pada masa bupati-bupati sebelum masa kemerdekaan, Gamelan Sari Oneng Mataram dipergunakan sebagai pengiring tari para menak Sumedang dalam acara Tayuban.  Acara tayuban ini pada era tahun delapan puluhan hingga pertengahan sembilan puluhan dilaksanakan setiap bulan di Museum Prabu Geusan Ulun, sekarang gamelan ini sudah jarang dipergunakan sebagai pengiring Tayuban karena memang sudah sangat jarang Tayuban dipergelarkan.
Repertoar lagu  terdapat dalam Gamelan Sari Oneng Mataram ada sebagai berikut:
Repertoar atau gending yang biasa disajikan dalam suatu latihan menabuh Gamelan Sari Oneng Mataram tercatat  sejumlah 14 lagu.  Diantaranya:
  1. Jipang Karataon
  2. Toropongan
  3. Barong naek Gegot
  4. Sonteng
  5. Sumiar naek sanga Gancang
  6. Amengan naek Singar
  7. Pancawarna naek Gersikan
  8. Paksi Tuwung naek Macan Ucul
  9. Cirebonan naek Singar
  10. Sura-sari naek Jonggrang
  11. Wani-wani nae Langensari
  12. Samarangan naek Samarangan gancang
  13. Karanginan naek Karanginan Gancang\
  14. Candi Rangrang naek Samarangan
  15. Jiro Keraton.
Dari kelima belas lagu tersebut, sekitar 6 buah lagu merupakan lagu kesukaan bupati Sumedang jaman dulu dan merupakan lagu pengiring tari mereka.  Lagu-lagu tersebut adalah:
  • Sura-sarinaek Jonggrang (sorog) yang merupakan lagu pengiring tari Pangeran Soeria Kusumah Adinata, 1836-1882.
  • Sonteng (sorog), yang merupakan lagu kesukaan dan pengiring tari Pangeran Mekah (Aria Soeria Atmadja) 1883-1919.
  • Samarangan naek Samarangan Gancang (sorog) yang merupakan lagu pengiring tari R.A.A Danoeningrat, bupati pensiunan Sukabumi II tahun 933-1950.
  • Karanginan naek Karanginan Gancang yang merupakan lagu pengiring R.A.A Kusumadilaga, 1919-1937.
  • Wani-wani (pelog) yang merupakan lagu pengiring tari R.A.A Soeria Natabrata bupati pensiunan sukabumi I tahun 1921-1932.
  • Barong naek Gegot (pelog) yng merupakan lagu pengiring tari Rd. Kanuruan Soeria Gunawan, onder kolektor pensiun Sumedang.
Dari keempat belas lagu tersebut, yang menjadi lagu awal adalah lagu jipang karaton dan yang menjadi lagu penutup adalah jiro keraton.

Sumber:
Wawancara dengan bu vety, pengurus museum geusan ulun sumedang

Skripsi berjudul gamelan buhun sari oneng mataram di museum prabu geusan ulun sumedang (sebuah tinjauan awal) yang disusun oleh atit widiati tahun 2001.

Sumber foto:
Website museum prabu geusan Ulun Sumedang.
Koleksi foto museum prabu geusan Ulun Sumedang.

TOLEAT, KALANGENAN MASYARAKAT SUBANG

SENI TOLEAT


Ditulis oleh:
Giant maeztoso
NIM: 18123021

Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
Jurusan seni karawitan


Gambar 1 (pertunjukkan toleat)



Apa sih toleat itu ?
Toleat ialah alat musik kalangenan yang berasal dari kabupaten Subang, Jawa Barat. Pada mulanya toleat muncul dari inspirasi anak gembala yang bermain dipesawahan, ketika musim panen tiba kebanyakan dari anak gembala bermain empet – empetan di sawah dan empet – empetan merupakan asal mula dari alat musik Toleat ini. Menurut hasil wawancara yang telah penulis lakukan daerah yang merupakan cikal bakal alat musik toleat ialah di daerah pantura  persisnya di desa Sukamandi Kec. Ciasem Kab. Subang. Toleat telah mengalami banyak perubahan bentuk, yang tadinya dengan menggunakan bahan Jerami padi lalu berubah ke daun kelapa hingga ke daun pepaya dan yang terakhir mengunakan Congo Awi atau Ujung Bambu. Ujung bambu yang di bentuk menyerupai kepala belut dan yang sekaligus menjadi sumber bunyi, nada yang di hasilkannya dari lidah yang menempel ke Hulu Belut yang dibuat dari pohon maja. Asal mula nama toleat di ambil dari bunyin yang di hasilkan alat musik tersebut yaitu “Torotot Ole – olean” karena sering terdengarnya seperti itu maka munculah nama Toleat.
Toleat mempunyai beberapa fungsi dalam pertunjukannya, yang pertama sebagai Kalangenan atau menghibur diri sendiri lalu setelah diterima oleh masyarakat Toleat menjadi pintonan atau Hiburan dan yang ketiga sebagai alat kreasi yang sering dipakai dalam musik – musik kontemporer. Warna suara yang dikeluarkan oleh alat musik ini menyerupai clarinate pada alat musik modern dan setelah melakukan banyak perubahan menyerupai juga alat musik Saxophone. Nada mutlak alat musik toleat ini ialah Pentatonis atau lebih spesifiknya Salendro, Degung, madenda. namun setelah mengalami banyak perubahan yang menyesuaikan pada perkembangan jaman nada yang dihasilkan serta lubang yang terdapat pada alat musik ini bertambah sehingga mampu memainkan nada -  nada Diatonis pada musik barat juga tergantung pada tiupan pada alat musik tersebut.
Toleat mulai di sosialisaikan kemasyarakat itu sekitar tahun 80an oleh seorang maestro toleat pada masa itu ialah Pak Suparman atau lebih dikenal dengan panggilan mang Parman. Ketika itu mang Parman mencoba menggantikan alat musik Tarompet di Kesenian Sisingaan Dengan alat musik Toleat tersebut. Pada saat itu keberadaan mang Parman di ketahui oleh staff kebudayaan yang ada di daerah Pamanukan masih dilingkup Kabupaten Subang. Setelah itu mang Parman Di undang pada rapat minggon kebudayaan dan mempersentasikan serta memainkan alat musik tersebut dihadapan para pejabat kecamatan sampai di bawa ke Kabupaten. Kemudian para pejabat itu menyukai Toleat ini serta memberi mang Parman sebuah penghargaan yang di berikan langsung oleh Bupati pada saat itu. Lalu Toleat yang dimainkan oleh mang Parman tersebut di undang untuk bermain di Panen raya sekaligus untuk lebih mengenalkan alat musik Toleat ini pada Masyarakat sekitar.

Gambar 2 (toleat dipergelarkan dalam ujian kompetensi keahlian)

Pada tahun 90an, Mang Parman sudah tidak berdomisili di Daerah Subang dan  berpindah ke daerah Karawang, keberadaan Toleat ketika itu menemukan kebuntuan karena tidak adanya regenerasi dari mang Parman walaupun dalam usaha peregenerasiannya pernah melakukan pelatihan namun yang merespon hanya dua kecamatan di kabupaten Subang yaitu kecamatan Jalan cagak dan Kecamatan Subang. Lalu pada tahun 1997 Toleat ditemukan kembali oleh pak Asep Nurbudi atau lebih akrab disapa mang Aep Oboy dari pegawai kemendikbud. Karena pada masa itu toleat sudah disebut ikon kabupaten Subang dan diundang untuk mendeklarasikan Toleat di acara Damas Kabupaten Subang. Dari mang aep nurbudi pula toleat mengalami banyak sekali perkembangan dari yang tadinya toleat hanya memiliki lubang 4 oleh mang Aep bertambah menjadi lubang 8 semakin kaya pula nada yang dikeluarkannya. Sejak saat itu toleat lebih sering di undang dalam acara – acara resmi sampai ke festival, setelah ,menjadi tontonan atau hiburan, alat musik pendukung toleat menggunakan Kohkol, Kecapi, Kendang, dan Goong. Lagu – lagu yang dibawakannya ialah lagu – lagi dari kesenian ketuk tilu. Lalu mang Aep melakukan inovasi pada toleat dan alat pendukungnya yaitu dengan menggukanan Buyung yang fungsinya pengganti kendang, kolotok yaitu dari kalung kerbau, seker yaitu berbahan bambu yang diisi dengan biji kacang kedelai, lalu kohkol, dan nguk – nguk yaitu inovasi dari Hulu belut toleat yang dimasukan kedalam  tempurung kelapa sehingga ketika di tekan menghasilkan bunyi nguk – nguk.
Perkembangan Toleat masa kini bisa di bilang sangat pesat, karena sering dijumpai diberbagai acara serta sering digunakan atau sebagai pertunjukan Ujian Tugas Akhir serta Karya Tulis Tugas Akhir di ISBI Bandung.
Penulis : Giant Maeztoso
Sumber : hasil wawancara penulis dengan Pak Asep Nurbudi, S.Sn atau mang Aep Oboy

SENI DOGDOG LOJOR

TARI DOGDOG LOJOR


ditulis oleh:

Syalman Adriandani
NIM: 18123036

Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
Jurusan seni karawitan

A. Sejarah Tari Dogdog Lojor
    Dogdog Lojor adalah salah satu kesenian tradisional asal Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kesenian ini memperpadukan antara seni gerak dan vokal syair-syairnya bersifat lelucon. Nama dogdog lojor diambil dari alat musik yang digunakan, yaitu dogdog karena jika dipukul mengeluarkan bunyi “dog”. Karena dogdog pada umumnya berbentuk lojor (panjang), maka keseniannya disebut sebagai “dogdog lojor”.
    Pada masa lampau dogdog lojor merupakan pelengkap upacara adat atau ritual, seperti upacara sesudah panen, ngalaksa, seren tahun, dan ngaruat. Namun demikian, jika ada khitanan atau perkawinan biasanya (tanpa diundang) para pemain dogdog lojor tampil dengan pakaian khasnya, yaitu baju kampret dan celana pangsi warna hitam. Mereka berjalan mengelilingi rumah si empunya hajat tiga kali sambil memukul dogdog dan membunyikan angklung. Setelah mengelilingi rumah milik si empunya hajat, mereka pergi menuju rumah-rumah lainnya sambil tetap membunyikan alat-alat yang dibawanya. Setelah semua rumah-rumah penduduk dikelilingi, maka orang yang membawa dogdog lojor dan angklung datang kembali ke tempat rumah yang punya hajat. Disana mereka diberi makanan dan minuman oleh yang punya hajat. Selesai makan, mereka pergi berkeliling lagi sambil men-dogdog dan meng-angklung. Ini merupakan pemberitahuan kepada masyarakat bahwa di kampung itu ada yang mengadakan selamatan, baik itu berupa khitanan atau pernikahan dan sekaligus memohon doa restu agar hajatan berjalan dengan selamat.

Alat musik dogdog
https://www.google.com/search?q=dogdog+lojor&tbm.
B. Perkembangan Tari Dogdog Lojor
    Karya tari ini mengambil dari akar tradisi upacara Seren Tahun Kampung Adat Ciptarasa, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, ditata ulang oleh Toto Sugiarto dan Rudi Kurniawan. Dengan penata gending Ujang Hendi dari sanggar Anggitasari, Parungkuda, Sukabumi, yang pernah meraih juara umum pada Festival Tari Kreasi Jawa Barat di TMII tahun 2005 dan menjadi wakil Jawa Barat di Pareda Tari Nusantara tahun 2007, meraih tarian terbaik lima besar.
    1. Fungsi
    Fungsi dari Dogdog Lojor ini diantaranya untuk upacara Seren Taun, Upacara Sedekah, Upacara Ruwatan, syukuruan 40 hari bayi lahir, dan upacara ngabaladah ”pembukaan” ladang baru dan upacara perkawinan, adalah upacara  yang selalu diiringi damean seni dogdog lojor ini.
    Masyarakat Banten khususnya masyarakat Baduy mempunyai upacara-upacara yang dianggap sakral dan magis, seperti upacara di atas. Disini dogdog lojor sangat berperan karena seni ini dianggap seni yang buhun dan mengandung nilai-nilai magis
    Seni dogdog lojor dapat dijadikan sarana ungkapan rasa syukur, ungkapan penolak bala, dan ungkapan persembahan, atau bahkan ungkapan rasa kegembiraan. Semua dapat dilihat dalam upacara yang laksanakannya. Namun dalam perkembangan zaman ini seni dogdog lojor mulai memudar, dari seni yang dianggap sakral dan magis menjadi hiburan yang kapan dan dimana saja dapat dipertunjukkan.
2. Pemain dan Waditra
    Pemain yang diperlakukan dalam seni ini berjumlah minimal 12 orang yang terdiri atas 4 orang pemain dogdog dan 8 orang  pemain angklung. Dibagi menjadi dua kelompok demean jumlah orang yang sama. Para pemain tidak dimonopoli oleh kaum pria saja, kini demean perkembangan zaman maka perempuan pun bisa memainkan seni ini. Waditra yang dipergunakan dalam permainan ini adalah dogdog dan angklung.
C. Alat Musik yang Dipergunakan
    Ada beberapa peralatan yang digunakan dalam seni dogdog lojor, yaitu : dogdog lojor 2 buah, angklung buhun 4 buah, gendang 1 buah, kecrek, dan kecapi 1 buah. Dogdog lojor dibuat dari pohon pinang atau bambu besar (awi gombong) yang panjangnya kurang lebih 1,24 cm, lubang belakang dengan garis tengah 20 cm, ditutup oleh kulit kambung atau kulit biri-biri. Untuk mengikat kulit agar tidak lepas diperlukan rarawat atau tali rotan dan memakai pasak. Pasak juga berfungsi sebagai pengatur bunyi atau atau suara dogdog. Fungsi dogdog sebagai komando baik kepada nayaga.   
    Untuk memainkan seni dogdog lojor ini ketika semua pemain dogdog lojor sudah siap, maka yang pertama kali ditabuh adalah goong (tiga kali). Kemudian, disusul  oleh bunyi gendang untuk menandakan permainan akan segera dimulai. Tidak lama kemudian, masuklah iringan yang terdiri dari 2 orang pemegang dogdog lojor dan 4 orang penabuh atau pembawa angklung ke tempat arena pementasan sambil berjalan berjingkat-jingkat dan menari sambil menggerakan anggota badan mengikuti suara alat yang mereka tabuh. Selesai mengelilingi arena pementasan sebanyak 1-2 putaran mereka duduk/bersila, kemudian “kidung” ditembangkan oleh juru kawih perempuan dengan diiringi kecapi dan gendang serta goong. Adakalanya penembang kidung dibawakan oleh pamain pemain dogdog lojor atau pemain angklung.
    Berikut adalah salah satu contoh kidung pembukaan :
Bismillah ngawitan ngidung
Nyebat asmaning Allah
Neda rahmat hidayahna
Ginuluran nu utami
Tebihkeun lara tunggara
Salamet sawargi-wargi
Sim abdi unjuk pihatur
Bilih kirang sihaksami
Hapunteun sateuacanna
Tangtos kirang tata-titi
Dina sagala rupina
Tebih pisan ti utami
Ngiring sambung tumalapung
Dina pagelaran seni
Budaya Banten Selatan
Nu mangrupi dogdog lojor
Dipirig tepak kendangna
Dijentrengan ku kacapi
Amin yaa rabbal alamin
Mugi gusti nangtayungan

Kemudian, dilanjutkan dengan sebuah kawih yang isinya tentang dogdog lojor atau mengenai apa yang sedang dipagelarkannya. Kawih tentang dogdog lojor adalah “Kawih Salaka Domas”.
    Dogdog-dogdog lojor seni buhun ti baheula 2x
    Kudu dipiara dirawat ku urang Sunda 2x

    Seni ti karuhun 2x
    Omat tong dimomorekeun 2x
    Hayu urang jungjung tradisi budaya Banten 2x

    Neda hapunteun tangtos kirang ti utami 2x
    Ieu dogdog lojor raehan mangsa kiwari 2x  

    Tah mung sakitu ti rombongan dogdog lojor 2x
    Kanca mitra Lebak nyanggakeun wilujeung tepat 2x

Bersama dengan usainya kawih yang ditembangkan, para pemain menabuh dogdog lojor sambil menyusun barisan menjadi dua grup yang akan memulai permainannya. Unsur mengadu kekuatan terdiri dari adu kepala, pundak, kaki, pantat, dan engkle. Selesai mengadu kekuatan, kemudian mereka berpura-pura hendak pulang, tp sebenarnya menjemput 4 orang putri tersebut menari-nari di arena. Dan, dengan selesainya tarian mereka, maka berakhirlah permainan dogdog lojor.



Tarian dogdog lojor (https://nationalgeographic.co.id)
PENULIS : SYALMAN ANDRIANDANI
SUMBER : TOTO SUGIARTO
SUMBER FOTO : 1. JAKA GAUMANTARA
        2. https://nationalgeographic.co.id

SENI HELARAN SISINGAAN

Observasi Kesenian Sisingaan ( Sanggar Seni SETIAWARGI “Robot Group” )

Ditulis oleh:

Muhammad Aprilian
NIM: 18123007

Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia Bandung.
Jurusan seni karawitan.


Gambar 1 (Helaran Sisingaan)

19 s/d 21 Oktober 2018
2 sampai 3 hari yang lalu tepatnya hari jumat 19 s/d 21 Oktober 2018 saya mengunjungi Sanggar Seni Robot Group di Desa Tambak mekar, Kec. Jalancagak, Subang Jawa Barat. Pada hari itu saya ditemani 2 orang untuk  mewawancarai salah satu tokoh pelestari budaya atau kesenian Sisingaan yang ada di daerah Subang Jawa Barat.

  1. BIOGRAFI
Dalam bahasa Indonesia, kata sisingaan diambil dari kata singa atau boneka yang berbentuk hewan singa atau  harimau. Karena dulunya banyak harimau di kawasan hutan perbukitan lereng timur laut Gunung Tangkubanparahu, Kabupaten Subang, Jawa Barat, tepatnya di kampung Cimaung.

Beratus tahun kemudian, Cimaung melahirkan seorang suhu seni tradisi sisingaan, dia ialah Ukat Mulyana atau sering dikenal dengan julukan ”Mang Robot”. Julukan Mang Robot diberikan warga kepada Ukat Mulyana karena keahliannya menabuh kendang pencak secara terus-menerus selama berjam-jam. Warga menyebut dia sebagai penabuh nu euweuh kacape atau ( orang yang tidak kenal lelah seperti robot).

Di sela-sela waktu senggangnya, Ukat Mulyana juga tidak kenal lelah berkeliling ke kampung-kampung di Subang untuk menyebarkan keahliannya, “ngamuridkeun”, yakni ( melatih seni sisingaan kepada para pemuda desa secara sukarela ). Maka, lengkaplah julukan Mang Robot sebagai Maestro sisingaan,

Gambar 2 (pertunjukkan sisingaan)


  1. SEJARAH SISINGAAN
Pada zaman kolonial belanda sekitar tahun 1800 wilayah Subang yang merupakan daerah perkebunan subur yang dikuasai oleh Belanda dan Inggris dengan perusahaan yang bernama P&T ( Pamanoeakan & Tjiasem ) Lands.
Kala itu, dua dimensi kekuasaan yang eksploitatif mendera rakyat Subang. Secara politis, wilayah Subang diperintah Belanda, tetapi secara ekonomi, berada di bawah kekuasaan pengusaha P&T Lands. Akibatnya, ribuan rakyat Subang, termasuk leluhur Ukat, menderita karena sumber-sumber kehidupannya terkuras kolaborasi pengusaha dan penguasa. Sekelompok seniman waktu itu melakukan perlawanan dengan membuat sisingaan atau singa-singaan.yang menggambarkan sebagai binatang buas dan jahat. Maka, mereka membuat dua boneka sisingaan yang melambangkan Singa Belanda dan Singa Inggris. Dalam setiap pergelaran, kedua patung singa itu ditumpangi anak-anak.
Simbolisasi ini merupakan pesan bahwa generasi yang akan datang harus mampu ”menunggangi singa-singa” itu, tidak sebaliknya seperti para orangtua mereka. Oleh karena itu, hingga kini dalam setiap pergelaran sisingaan selalu ditampilkan dua patung singa yang ditumpangi anak-anak.

  1. PERTUNJUKAN SISINGAAN
Pertunjukan sisingaan diawali dengan kata-kata sambutan yang dilakukan oleh pemimpin kelompok. Setelah pemimpin kelompok memberikan kata sambutan, barulah anak yang akan yang akan diarak dipersilahkan untuk menaiki boneka singa. Selanjutnya, alat pengiring ditabuh dengan membawakan lagu-lagu yang berirama dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan. Kemudian, sejumlah 8 orang pemain akan mulai menggotong dua buah boneka singa (satu boneka digotong oleh 4 orang).
Setelah para penggotong boneka singa siap, maka sang pemimpin akan mulai memberikan aba-aba agar mereka mulai melakukan gerakan-gerakan tarian secara serempak dan bersamaan. Para penggotong boneka itu segera melakukan gerakan-gerakan akrobatis yang cukup mendebarkan.
Gerakan-gerakan tarian yang biasa dimainkan oleh para penggotong boneka singa tersebut adalah: ( igeul ngayun glempang, pasang/kuda-kuda, mincid, padungdung, gugulingan, bangkaret, masang, sepakan dua, langkah mundur, kael, ewag, jeblang, depok, solor, sesenggehan, genying, putar taktak, nanggeuy singa, angkat jungjung, ngolecer, lambang, pasagi tilu, melek cau, nincak rancatan, dan kakapalan. )

Sedangkan, lagu-lagu yang dimainkan oleh juru kawih untuk mengiringi tarian biasanya diambil dari kesenian Ketuk Tilu, Doger, dan Kliningan, seperti : ( Keringan, Kidung, Titipatipa, Gondang, Kasreng, Gurudugan, Mapay Roko, Kembang gadung, Kangsring, Kembang Beureum, Buah Kawung, Gondang, Tenggong Petit, Sesenggehan, Badudud, Tunggul Kawing, Samping Butut, Sireum Beureum, dan lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet Rajet, Serat Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong dan lain sebagainya ).

Pertunjukan sisingaan ini dilakukan sambil mengelilingi kampung atau desa, hingga akhirnya kembali lagi ke tempat semula. Dan, dengan sampainya para penari di tempat semula, maka pertunjukan pun berakhir.

  1. PERKEMBANGAN
Di Kabupaten Subang, sisingaan tumbuh dan berkembang karena apresiasi masyarakat masih tinggi. Seni ini biasanya ditanggap (diundang) oleh keluarga yang menyelenggarakan hajat khitanan untuk anak-anaknya. ”Kalau anak dikhitan, rasanya kurang sempurna hajatannya apabila tidak nanggap sisingaan,” ujar Teguh Meinanda (56), tokoh masyarakat Desa Tambakmekar. Oleh karena itulah pada musim khitanan, biasanya pada bulan Islam, Rayagung (Zulhijah) dan Maulud, grup-grup sisingaan Subang sedang marema atau banyak undangan.
Di samping hari-hari besar kenegaraan, setiap minggu pada musim ramai itu Lingkung Seni Setiawargi bisa tampil dua kali di tempat berbeda. Ukat Mulyana biasanya membawa 25 personil, Sekali tampil, setiap anak buahnya rata-rata mendapat honor Rp 50.000 per/orang. Sebagai pimpinan rombongan, Ukat mendapat tiga kali lipatnya ditambah sewa sound system Dll.

Tarif undangan sisingaan rata-rata Rp 3 juta s/d Rp 5 juta per/panggung bagaimana banyak atau tidaknya sisingaan yang digunakan ”Adakalanya (kami) dibayar lebih, tetapi ada juga yang kurang dari itu. Kami biasanya maklum saja jika kekurangannya dibayar cap nuhun,” seloroh Ukat. Kekurangan bayaran itu akan sirna oleh keharuan yang tak ternilai setelah Ukat melihat keluarga yang punya hajat bahagia dan bangga bisa menggelar sisingaan.



Sumber foto:
Giant maeztozo

JANAKA SUNDA, SENI LAWAK SUNDA

JANAKA SUNDA Ditulis oleh: Syalman Andriandani NIM: 18123036 Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, jurusan seni karawit...