Senin, 29 April 2019

SENI CINGCOWONG DARI KUNINGAN JAWA BARAT


CINGCOWONG KESENIAN  TRADISI MASYARAKAT DESA LURAGUNG, KUNINGAN JAWA BARAT

Ditulis oleh:



Euis  Karmila
NIM 18123011
Mahasiswi Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
Jurusan Seni Karawitan

Gambar 1 (ritual seni cingcowong)



Cingcowong merupakan  kesenian  khas yang berasal dari Kabupaten Kuningan tepatnya di  Desa Luragung Kecamatan Luragung Kabupaten .Cing cowong merupakan seni ritual meminta hujan  dengan medianya yang khas yaitu jejelmaan atau orang sunda menyebutnya dengan sebutan bebegig atau bisa berupa boneka perempuan yang berparas cantik. Kesenian ini ada sekitar tahun 1990an  yang diciptakan oleh seseorang yang bernama ‘’ Eyang Nata’’.Upacara ini dilakukan secra turun temurun oleh masyarakat di Desa  Luragung.
Dalam pelaksanaannya terdapat pemimpin upacara yang sering dipanggil sebagai ‘Punduh’, yaitu sesepuh setempat yang bisa memanggil hujan melalui kekuatan alam. Peralatan yang digunakan dalam tradisi ini, antara lain taraje, samak, cermin, sisir, bunga kamboja, dan boneka cingcowong.
Boneka Cingcowong merupakan boneka yang terbuat dari batok kelapa yang kemudian dihias atau dirupakan sebagai perempuan cantik yang bertubuhkan bambu dengan baju dan ornamen lainnya.

Gambar 2 (boneka cingcowong)

Boneka ini dihias sebaik mungkin karena dianggap akan menjadi sarana makhluk halus untuk berdiam saat upacara dilakukan. Selama prosesi upacara, boneka ini akan bergerak ke sana ke mari dengan sendirinya dan diharapkan pada akhir dari rangkaian acara ini hujan akan turun dalam beberapa waktu kemudian.
Menurut Nawita, yang merupakan cucu Rasih dari generasi  keempat, seorang punduh dipilih bukan karena kedekatan atau telah direncanakan terlebih dahulu tetapi berdasarkan panggilan batinnya atau atas dasar bisikan gaib. Kemudian calon punduh yang terpilih akan diwariskan mantera pemanggil hujan serta tata cara pemanggilan hujan. Calon punduh tersebut juga diwajibkan terlebih dahulu melakukan puasa sebelum ia dibekali dengan kemampuan menjalankan tradisi Cingcowong sebagai punduh.
Pertunjukan Cingcowong dipagelarkan oleh 6 orang yang memiliki tugas masing-masing, diantaranya: Punduh Ibu Nawita, beliau adalah satu-satunya punduh (kuncen) Cingcowong di Kabupaten Kuningan, Punduh merupakan pemimpin upacara Cingcowong yang dengan kemampuannya dipercaya masyarakat setempat dapat mendatangkan hujan melalui perantara boneka Cingcowong. Pembantu punduh yaitu Hj. Itit dan Nining Waskini mereka bertugas membantu punduh Nawita dalam memegang boneka cingcowong. Ibu warsinah memainkan alat musik berupa ‘buyung’, yang biasa dipakai sebagai alat penyimpan air terbuat dari tanah liat. Ibu Kaseh memainkan alat musik berupa ‘bokor’ atau ‘ceneng’ yang biasa dipakai sebagai vas bunga terbuat dari bahan tembaga/kuningan. Ibu Wartinah berperan sebagai Sinden.
                                
                                         
  Lahirnya kesenian ini dipengaruhi  oleh  aspek geografis. Ini di karena kan  mayoritas penduduk di Kabupaten Kuningan   bermata pencaharian sebagai  petani. Kabupaten Kuningan yang merupakan daerah pertanian yang subur dan sebagai  penghasil berbagai hasil bumi unggulan. Tetapi ketika kekeringan melanda akibat kemarau yang panjang, semua menjadi berubah. Hutan mengering, sumber air menghilang, lahan pertanian pun tidak lagi subur. Inilah yang mendorong masyarakat Kabupaten Kuningan , khususnya masyarakat di Kecamatan Luragung menggelar berbagai ritual guna meminta hujan yang diawali dengan sintren. Dari ritual tersebut diperoleh ’’wangsit’’,agar masyarakat  menggelar ritual Cingcowong.  Penyelenggaraan ritual biasanya dilaksanakan pada malam jumat sekitar pukul 17.00. Pada zaman dahulu, upacara cingcowong dilaksanakan pada waktu kemarau panjang.
Semakin berkembangnya pengetahuan masyarakat tentang Agama Islam, kepercayaan ini semakin luntur, sehingga sekarang hanya dianggap sebagai budaya atau kebiasaan saja meskipun menurut masyarakat apabila ritual ini diselenggarakan hujan memang turun.
Tahun 2004 hingga sekarang cingcowong ditampilkan dalam bentuk seni tari untuk menghindari musyrik.  di era sekarang  cingcowong disajikan secara lebih  modern  sehingga mengurangi esensi upacaara memanggil hujan Cingcowong dapat  dipentaskan kapan  dan dimana  saja dengan tujuan yang lebih  umum  dan terkesan  lebih komersil.
Nawita satu-satunya seniman Cingcowong yang berjasa mengembalikan kesenian ritual ini di Kabupaten Kuningan. Wanita berusia 68 tahun itu berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai tradisi masyarakat Blok Wage Desa Luragung Landeuh, Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan ratusan tahun lalu itu agar tidak punah.
Nawita sering tampil memainkan Cingcowong dalam berbagai acara, bahkan dia tak jarang pula mendapatkan undangan untuk tampil berkolaborasi lewat sebuah tarian Cingcowong seperti dalam pagelaran Seni dan Kebudayaan mulai tingkat Kecamatan, kabupaten, bahkan pertunjukan di Cirebon dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Berkat Nawita, Cingcowong yang dulu hanya ditampilkan pada acara ritual pemanggil hujan, kini menjadi tontonan masyarakat. Bahkan, seniman lain di Kuningan berupaya untuk mengadopsi Cingcowong menjadi sebuah tarian yakni Tari Cingcowong. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan pun turut serta melestarikan kembali Cingcowong.

Sumber dan Dokumentasi diambil dari :
Skripsi Edi Kusnadi (STSI 2001)  SENI  CINGCOWONG DI DESA LURAGUNG LANDEUH KECAMATAN LURAGUNG  KABUPATEN KUNINGAN. 





TARI BUYUNG DARI KUNINGAN JAWA BARAT


TARI BUYUNG DALAM UPACARA SEREN TAUN , CIGUGUR , KUNINGAN 

Ditulis oleh:



Euis Karmila
NIM 18123011
Mahasiswi Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
Jurusan Seni Karawitan


Gambar 1 (pergelaran tari buyung)
Desa Cigugur merupakan  daerah pegunungan  dan perbukitan  yang subur  akan sumber  air bersih  dan  alamnya yang sejuk. Kebiasaan yang sering dilakukan  oleh  kaum wanita  tempo dulu  pada saat menjelang  sore hari  atau bulan purnama tiba , seperti mencucui, mandi,  berenang,  dan mengambil  air bersih  di sebuah mata air  yang letaknya di bawah. Alat yang biasa digunakan dalam mengambil air bersih  adalah sebuah  buyung dan kendi ; buyung dengan cara disuhun (membawa  di atas kepata ) dan kendi diapit di ketiak. Kebiasaan  kaum perempuan dalam  mengambil air dengan menggunakan  buyung dan kendi  itulah, kemudian  yang mengilhami  P. Djatikusumah   beserta  istrinya Ibu  Emalia untuk dijadikan  sebuah tarian. Ide ini direalisasikan dalam sebuah tarian sekitar  tahun 1940-an, dan mulai dipertunjukkan  dalam acara Seren Taun  sekitar tahun 1970-an . ‘’Bahkan  tarian ini kemudian dipergelarkan  secara rutin setiap tahun. Pangeran Djatikusumah  berpendapat bahwa :’’ dalam  hidup ini harus ada  keseimbangan  berbudaya  baik logika maupun metafisika . Bahkan lebih jauh lagi ungkapan ‘’ dimana  bumi dipijsk  disitu Langit di jungjung. Ungkapan inilah yang  mendasari Djatikusumah  untuk merealisasikan  budaya daerahnya  kedalam bentuk tarian.
Secara konseptual  tari buyug  terdiri dari  7 ( tujuh ) formasi  antara lain Jala Sutra,  Bale  Bandung  Medang Kemulyan , Nyakra Bumi, Nugu Telu Pajajaran, dan  Rajah  Pulang. Pertunjukan tari buyung dengan formasi tersebut dimaknai masyarakat Sunda adalah masyarakat yang religius.
.

Gambar 2 (penari tari buyung)

Gerak tari Buyung cenderung lemah lembut. Pertunjukan gerak tarian yang unik juga ditampilkan dalam tarian buyung ini, yaitu pada saat penari dengan kemampuanya untuk menari di atas kendi dengan menjunjung buyung.
Busana  atau  kostum  yang dipakai dalam tari Buyung  meliputi : apok atau kemben dengan  kain warna  emas  sebagai penutup dada atau bisa  juga memakai kebaya, sabuk sebagai ikat pinggang  dan sampur atau soder sebagai aksesoris. 
Sebelum  tahun 1980-an  musik atau iringan  tari buyung  menggunakan  perangkat gamelan degung. Seiring berjalannya waktu  iringan nya beralih menggunakan  perangkat kacapian, yaitu instrument  kecapi indung, kecapi rincik, dan suling.    Iringan  tidak saja menggunakan kecapi suling , tetapi  bisa juga menggunakan gamelan pelog atau salendro. Iringan  seperti ini digunakan dalam  acara Seren Taun khususnya , tari Buyung  menggunakan iringan  kecap suling karena terdengar lebih  syahdu .  Alasan lainnya karena  pertimbangan  efisiensi yaitu karena  kecapi suling  digunakan  juga untuk  mengiringi  rangkaian  beberapa acara yang akan  ditampilkan, antara lain  sebagai iringan pembuka atau tatalu dalam puncak acara Seren Taun.
 Adapun tekhnik tabuhannya menggunakan  gaya Cianjuran, serta  ditambah goong dan  kendang dalam  tabuhan gaya ‘ klasik’ Sunda.
Tari  Buyung  merupakan salah satu ikon  atau ‘’ masterfirst’’ kesenian  masyarakat  Kuningan , khususnya di Cigugur. Kini  tari Buyung bukan saja milik P. Djatikusumah dan keluarga  dengan  pusat  kegiatannya  di Paseban  Cigugur, tetapi sudah menjadi  milik masyarakat Kuningan serta keseluruhan, bahkan  masyarakat  di luar  Kuningan sekalipun. Dan tari Buyung  diakui oleh Dinas Pariwisata  dan kebudayaan sebagai  ciri khas kesenian daerah  Kuningan. Sebagai buktinya kita dapat temukan pada buklet  Pariwisata  dan  Kebudayaan daerah Kuningan  yang menempatkan tari Buyung  sebagai cover. Situasi tersebut sangan berpengaruh terhadap pelestarian tari Buyung karena pada akhirnya tari Buyung tidak hanya disajikan dalam upacara Seren Taun  semata , tetapi  juga ditampilkan dalam berbagai acara hajatan atau syukuran  masyarakat Kuningan  baik secara perorangan  maupun secara kolektif. Bahkan  tari  Buyung juga pernah ditampilkan  di Taman Mini Indonesia Indah  sebagai duta seni  pada tahun 1992 yang melibatkan 1500 personil. Dalam acara ini  tari Buyung  tidak tampil sendiri melainkan  sebuah rangkaian acara Seren Taun  yang di tampilkan di Taman Mini  Indonesia Indah.

 Sumber dan Dokumentasi :
Skripsi Elisabeth Retnowati (STSI 2006)  Tari Buyung Dalam Upacara Seren Taun Di Cigugur  Kabupaten Kuningan Jawa Barat
(Kajian  Terhadap  Konsep dan Struktur Penyajian)

VIDEO TARI BUYUNG

SENI BANGRENG DARI KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT


SENI BANGRENG

Ditulis oleh:


Adi Trisampurno
NIM 18123011
Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
Jurusan Seni Karawitan



Gambar 1 (pergelaran seni bangreng kab. Sumedang)

Bangreng  merupakan salah satu  jenis kesenian yang berkembang sebagai sarana Hiburan  khas masyarakat Kabupaten Sumedang. Bangreng dapat di tampilkan pada acara-acara hajatan pernikahan dan ruwatan hajat lembur. Bangreng berkembang diwilayah Kabupaten Sumedang diantaranya terdapat di daerah Kecamatan  Situraja, Kecamatan Darmaraja,Kecamatan Cimalaka, kecamatan Tanjungkerta, Kecamatan Buahdua dan Kecamatan Wado. Secara geografis wilayah tersebut merupakan daerah pegunungan yang potensi mata pencaharian masyarakat pada hasil pertanian sawah dan ladang. Pengaruh kesenian rakyat yang berkembang pada masyarakat  sebelumnya menjadi pijakan dari proses pembentukan sistem kekuasaan yang berkembang di Kabupaten Sumedang.
Bangreng berasal dari kata Terebang (alat musik) dan Ronggeng (penari dan penyanyi wanita) yang hidup dari dua golongan kesenian rakyat dan kesenian menak. Pada perkembangan selanjutnya Bagreng mengalami penambahan alat musik atau waditra berupa perangkat gamelan laras pelog dan salendro, hasil pengaruh dari sistem kekuatan pemerintah pada masa kedudukan kewedanan Sumedang Pangeran Soeria Kusumah Adinata (1863 – 1882), dengan berkembangannya seni Tayub.
Idea atau gagasan yag merupakan sebuah pemikiran-pemikiran yang dapat dilihat dari awal mula bangreng berasal dari Gembyung,  Terebangan menjadi Bangreng. yaitu akronim dari kata Terbang dan Ronggeng. Setelah menajdi Bangreng tampilan pertunjukannya lebih menarik dan mengalami perkembangan juga dengan masuknya  pengaruh unsur-unsur Tayub. Konsepsi pertunjukan pada Bangreng  ini meniru yang berada dalam Tayub. Hal itu merupakan  sebuah gagasan perubahan bentuk kesenian agar  lebih menarik disajikan untuk kepentingan bersama.
Bangreng merupakan bentuk kesenian baru yang berkembang dari kekuatan  sebelum nya sebagi sistem pola budaya yang membentuk kekuatan makna dan karakter dalam perkembangannya. Kesenian hadir sebagai bentuk ungkapan manusia untuk mewujudkan  berbagai makna-makna kualitas dalam pembentukan karakter masyarakat . Peristiwa-peristiwa budaya masyarakat menjadi wacana penciptaan sebuah budaya baru sesuai dengan makna  dan fungsi  dalam kehidupan dan struktur Kemasyarakatan.
Kehidupan para penguasa dan golongan menak merupakan bentuk akulturasi dalam kesenian Bangreng yang mempunyai kekuatan tatakrama dan aturan yang harus di taati sebagai bentuk ungkapan metode kekuasaan. Adapun pengaruh bentuk kesenian menak yang ada pada Bangreng adalah Baksaan  (nyoderan) dan tayub merupakan salah satu  ciri khas bentuk Keragaman jenis tari yang bersumber pada kesenian menak. Pola-pola gerak yang bersumber dari pola gerak Ketuk Tilu Dalam ranah tari rakyat, ketuk tilu paling dominan mempengaruhi gerak-gerak tari yang berada pada Bangreng
Berdasarkan hasil wawancara  kepada wahyudin “bahwa adanya  unsur-unsur tari Tayub pada Bangreng yaitu ketika  berawal adanya para menak yang ikut terlibat menari pada  Bangreng. Para menak tersebut sering kali meminta lagu-lagu yang berada pada tari Tayub” (Wawancara Wahyudin,2018).
Selain itu, wawancara kepada  Juju Junaedi bahwa”Di Sumedang pengaruh Tayub pada Bangreng yaitu sebagai  aktivitas  masyarakat  jelata (cacah) ataupun masyarakat yang tinggal diperdesaan , menari dalam Bangreng meniru pola-pola tari yang berada pada tari menak (tayub) maka tidak heran jika saat ini yang menari Tayub pada Bangreng bukan hanya menak saja  tetapi  masyarakat  biasapun dapat  menari Tayub” (wawancara Juju Juanedi,2018).

Sumber:
Tesis pengkajian seni oleh Sopian Hadi “Estetika Tari Pada Bangreng” Tahun 2018




SENI GEMBYUNG DARI SUBANG JAWA BARAT


GEMBYUNG

Ditulis oleh:

Giant Maeztoso
NIM 18123021
Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
Jurusan Seni Karawitan


Gambar 1 (pertunjukkan seni Gembyung kab. Subang)

Gembyung merupakan salah satu kesenian yang ada di Jawa Barat. Khususnya kali ini kita akan membahas kesenian Gembyung yang ada di daerah Subang, Jawa Barat, Indonesia. Namun kesenian Gembyung ini tidak hanya ada di daerah Subang saja, bahkan di Daerah Cirebon pun ada Kesenian yang dinamakan Gembyung. Pada dasarnya kesenian gembyung yang ada di Cirebon dan di Subang hampir banyak kemiripan karena berangkat dari pengalaman yang sama ialah untuk sebuah penyebaran keagaaman (Agama Islam).  Menurut Drs.H. Moddi Madiana (2017) Kesenian Gembyung Berasal dari dua suku kata yaitu Gem dan Byung. Gem yang berarti Ageman yang artinya ajaran, pedoman atau paham yang diikuti oleh manusia. Sedangkan Byung berasal dari kata Kabiruyungan yang artinya kepastian untuk dilaksanakan. Bisa kita ambil kesimpulan dari kedua arti tersebut ialah Suatu Ajaran atau pedoman yang harus dilaksanakan dan diikuti oleh manusia. Gembyung memiliki nilai-nilai keteladanan untuk pedoman hidup manusia.

Kesenian Gembyung ini biasanya dipertunjukan ketika ada upacara-upacara keagamaan misalnya dalam Isra miraj. Di Subang kesenian ini masih sangat lekat kaitannya dengan unsur magis. Contohnya disetiap pertunjuknya pasti sasajian/sasajen yang disuguhkan harus lengkap dan ketika dipertunjukan pun masih banyak orang-orang yang hilang kesadarannya. Walaupun pada mulanya kesenian Gembyung ini memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi primer yang digunakan sebagai media dakwah, kegiatan keagamaan, seni kalangenan, mengisi waktu luang dan untuk upacara kesuburan padi. Sedangkan fungsi sekunder sebagai media komunikasi, pendidikan, ekspresi dan tontonan.

Jumlah pemain dalam kesenian Gembyung ini minimalnya ada 12 orang yang mana 5 Terebang, 2 buah Kendang, goong, kendang silung, kecrek, tarompet dan juru kawih. Lagu – lagu yang di bawakanpun ada beberapa yang diambil  sama dari lagu di pantun dan di kliningan. Contohya lagu Yalaillah wae lagu tersebut merupakan berasal dari lagu kesenian Pantun. Lalu ada engko ya nur Yalah, Hindu Yalah, Kembang gadung sebagai lagu bubuka, ayun ambing, dan masih banyak lagi.

Pada perkembangannya kesenian gembyung ini tak banyak mengalami perubahan atau mengikuti perubahan jaman yang semakin pesat, kesenian ini sangat memegang teguh kesakralan yang dimilikinya. karena kesenian ini sangat kental dengan tradisinya, kesenian ini mengalami pasang surut apresiasi salah satu akibatnya perkembangan jaman yang semakin pesat ini. Kita kerucutkan ke kesenian gembyung yang ada di Perumahan Pondok Gede Kel. Dangdeur Kec. Subang Kab.Subang Jawa Barat. Kesenian Gembyung pada Padepokan Dangiang Dongdo Mengalami pembaharuan dalam peyajiannya, namun tidak menghilangkan orisinilitas yang sudah ada lebih awal. Pembaharuan itu dilakukan sebagai proses keserasian (akulturasi) dengan kesenian tradisi lainnya yang ada di Kabupaten Subang sehingga sangat dimungkinkan selalu ada penambahan alat untuk memperkaya sajiannya.

ketika kesenian Gembyung ini dimainkan tak sedikit orang yang mendengarkannya merasa ingin menggerakan tubuhnya dan mengikuti irama musiknya. Namun ketika seseorang telah merasakan dan sangat menikmati musik ini kadang ia akan kehilangan kesadarannya dan mengakibatkan hilang kendali. Meski begitu pertunjukan gembyung saat ini selalu berakhir dengan adanya permintaan dari penonton agar si musik diteruskan ke bajidoran. Dilihat dari perkembangannya pengapresiasi kesenian ini semakin hari akan semakin menipis bahkan tidak ada jika manusia sudah tak memegang teguh budaya sendiri. Maka jika bukan dari kita yang menjaga dan melestarikannya. Lantas siapa lagi ?.

Narasumber:
Drs. H. Moddi Madiana
Kesenian Gembyung  Padepokan Dangiang Dongdo
Perumahan Pondok Gede Kel. Dangdeur Kec. Subang Kab.Subang Jawa Barat. 


KUDA RENGGONG DARI SUMEDANG JAWA BARAT

KUDA RENGGONG 

Ditulis oleh:
Sania Putri Oktaviani
NIM 18123005
Mahasiswi Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
Jurusan Seni Karawitan




Gambar 1 (kuda renggong lengkap sedang diarak bersama pengantin sunat)

Kuda renggong merupakan salah satu jenis kesenian khas masyarakat sunda Jawa Barat, yang mana merupakan suatu helaran bagi masyarakat. Biasanya kuda renggong diadakan dalam acara khitanan maupun menyambut tokoh-tokoh penting. Biasanya terdapat satu sampai empat ekor kuda yang menari mengikuti irama musik. Kesenian kuda renggong berasal dari sebuah desa yang bernama Desa Buahdua, Sumedang, Jawa Barat. 

Asal mula kesenian kuda renggong, menurut salah satu seniman Kuda Renggong yang bernama Ki Encep Suhara mengungkapkan bahwa kuda renggong lahir ketika masa kepemimpinan bupati Pangeran Aria Soeria Atmadja yang memiliki seekor kuda, kemudian kuda tersebut dipercayakan kepada salah satu anak buahnya. Kuda tersebut dibebaskan di lahan yang luas dan kemudian dilatih oleh Aki Sipan, kuda tersebut dilatih agar mampu menari. Setelah kuda tersebut dilatih oleh Aki Sipan, kuda tersebut ditampilkan di kediaman Pangeran Aria Soeria Atmadja dalam acara khitanan cucunya. Akhirnya kuda yang menari tersebut dinamakan Kuda Renggong yang mengambil dari metatesis kata “Ronggeng” yang berartikan kamonesan (keterampilan) cara kuda berjalan yang mengikuti irama musik. 

Bupati Pangeran Aria Soeria Atmadja sangat menyukai penampilan kuda renggong tersebut, hal ini yang menyebabkan masyarakat terus mengembangkan kuda renggong yang akhirnya menjadi sebuah kesenian sunda. Masyarakat mulai mengikuti kesenian kuda renggong ini hingga sekarang. Tidak hanya di Desa Buahdua saja, kini kesenian kuda renggong mampu disaksikan diberbagai daerah di Jawa Barat. Pertunjukan kesenian kuda renggong dilakukan dengan cara berkekeling di sekitaran wilayah tempat acara khitan maupun penyambutan tokoh penting dilakukan. Para pemain kuda renggong biasanya orang dewasa dan dikumpulkan menjadi sebuah kelompok, yang memiliki perannya masing-masing misalnya sebagai pemain musik, sebagai pendamping kuda ketika berkeliling dan juga sebagai rekan silat kuda. 

Gambar 2 (kuda renggong beserta pakaiannya yang lengkap)

Selain berkekeliling kampung dan menari, kuda renggong juga menampilkan sebuah atraksi dimana ada satu orang yang berkelahi atau dengan nama lain “Silat” dengan kuda, yang sebelumnya kuda tersebut dilatih agar tidak melukai orang yang menjadi rekan silatnya. Pertunjukan kuda renggong biasanya diawali dengan musik pembuka yang berjudul kembang gadung. Sebelumnya kuda disiapkan terlebih dahulu, seperti menggunakan pakaian khas kuda renggong yang memiliki warna-warna yang mencolok dan juga dilengkapi dengan 5 jenis aksesoris kuda, diantaranya:
1. Siger yang dipakai di kepala kuda, 
2. Apok punduk yang dipakai dibagian pundak kuda, 
3. Apok dada yang digunakan di dada kuda, 
4. Ebeg yang digunakan di pinggang kuda dan ditambahkan sela yaitu tempat duduk anak yang dikhitan dan dipasang juga umbul-umbul sebagai hiasan dan 
5. Bujur kuda digunakan di bagian bokong kuda. 

Sesudah kuda dipakaikan aksesoris tersebut, kemudian anak yang dikhitan memakai baju yang khas yang disebut baju Budak Karya (Baju Gatot Kaca) dan dinaikkan keatas kuda.


Gambar 3 (seseorang sedang melatih kuda renggong)

Kuda renggong mengelilingi halaman rumah hajat sebelum berjalan mengelilingi kampung/desa ( arak-arakan ). Kuda renggong biasanya diikuti oleh masyarakat yang ikut berjoget dan juga diikuti oleh delman yang dihias dari belakang. Delman tersebut dinaiki oleh keluarga yang dikhitan ataupun kerabat yang membantu acara tersebut. Waditra yang digunakan dalam kesenian kuda renggong terdiri dari, tambur, bedug, kecrek, goong kecil, goong besar, terompet, dua buah bonang dan accu mobil untuk sound. Musik tersebut dinamakan musik Tanji. Hingga zaman sekarang, kesenian kuda renggong masih diminati oleh masyarakat sunda. Namun terdapat perubahan dalam cara pertunjukannya, misalnya dalam lagu yang dibawakan untuk mengiringi kuda renggong, dahulu musik yang dibawakan seperti buah kawung, kembang gadung dan yang lainnya, tapi di masa sekarang lagu-lagu yang dibawakan ketika berkeliling cenderung menggunakan lagu-lagu bergenre dangdut maupun pop sunda. 

Sumber : 
Narasumber Yoga Pratama
salah satu seniman Kuda Renggong asal daerah Cicalengka, Jawa Barat.
lingkung seni Satria Muda, Cicalengka, Kab. Bandung Jawa Barat

Foto : 
Foto 1 http://renggongsumedang13.blogspot.com/2016/05/sejarah-kuda-renggong.html 
Foto 2 Diambil di Kp. Pamoyanan, Cicalengka, Jawa Barat ( di kediaman narasumber)
Foto 3 Diambil di Kp. Pamoyanan, Cicalengka, Jawa Barat ( di kediaman narasumber)

JANAKA SUNDA, SENI LAWAK SUNDA

JANAKA SUNDA Ditulis oleh: Syalman Andriandani NIM: 18123036 Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, jurusan seni karawit...