CINGCOWONG
KESENIAN TRADISI MASYARAKAT DESA
LURAGUNG, KUNINGAN JAWA BARAT
Ditulis oleh:
Euis Karmila
NIM 18123011
NIM 18123011
Mahasiswi Institut Seni Budaya Indonesia Bandung
Jurusan Seni Karawitan
Gambar 1 (ritual seni cingcowong)
Cingcowong
merupakan kesenian khas yang berasal dari Kabupaten Kuningan
tepatnya di Desa Luragung Kecamatan
Luragung Kabupaten .Cing cowong merupakan seni ritual meminta hujan dengan medianya yang khas yaitu jejelmaan
atau orang sunda menyebutnya dengan sebutan bebegig atau bisa berupa boneka
perempuan yang berparas cantik. Kesenian ini ada sekitar tahun 1990an yang diciptakan oleh seseorang yang bernama
‘’ Eyang Nata’’.Upacara ini dilakukan secra turun temurun oleh masyarakat di
Desa Luragung.
Dalam pelaksanaannya
terdapat pemimpin upacara yang sering dipanggil sebagai ‘Punduh’, yaitu sesepuh
setempat yang bisa memanggil hujan melalui kekuatan alam. Peralatan yang
digunakan dalam tradisi ini, antara lain taraje, samak, cermin, sisir, bunga
kamboja, dan boneka cingcowong.
Boneka Cingcowong
merupakan boneka yang terbuat dari batok kelapa yang kemudian dihias atau
dirupakan sebagai perempuan cantik yang bertubuhkan bambu dengan baju dan
ornamen lainnya.
Gambar 2 (boneka cingcowong)
Boneka ini dihias
sebaik mungkin karena dianggap akan menjadi sarana makhluk halus untuk berdiam
saat upacara dilakukan. Selama prosesi upacara, boneka ini akan bergerak ke
sana ke mari dengan sendirinya dan diharapkan pada akhir dari rangkaian acara
ini hujan akan turun dalam beberapa waktu kemudian.
Menurut Nawita, yang
merupakan cucu Rasih dari generasi
keempat, seorang punduh dipilih bukan karena kedekatan atau telah
direncanakan terlebih dahulu tetapi berdasarkan panggilan batinnya atau atas
dasar bisikan gaib. Kemudian calon punduh yang terpilih akan diwariskan mantera
pemanggil hujan serta tata cara pemanggilan hujan. Calon punduh tersebut juga
diwajibkan terlebih dahulu melakukan puasa sebelum ia dibekali dengan kemampuan
menjalankan tradisi Cingcowong sebagai punduh.
Pertunjukan
Cingcowong dipagelarkan oleh 6 orang yang memiliki tugas masing-masing,
diantaranya: Punduh Ibu Nawita, beliau adalah satu-satunya punduh (kuncen)
Cingcowong di Kabupaten Kuningan, Punduh merupakan pemimpin upacara Cingcowong
yang dengan kemampuannya dipercaya masyarakat setempat dapat mendatangkan hujan
melalui perantara boneka Cingcowong. Pembantu punduh yaitu Hj. Itit dan Nining
Waskini mereka bertugas membantu punduh Nawita dalam memegang boneka
cingcowong. Ibu warsinah memainkan alat musik berupa ‘buyung’, yang biasa dipakai
sebagai alat penyimpan air terbuat dari tanah liat. Ibu Kaseh memainkan alat
musik berupa ‘bokor’ atau ‘ceneng’ yang biasa dipakai sebagai vas bunga terbuat
dari bahan tembaga/kuningan. Ibu Wartinah berperan sebagai Sinden.
Lahirnya kesenian ini dipengaruhi oleh
aspek geografis. Ini di karena kan
mayoritas penduduk di Kabupaten Kuningan bermata pencaharian sebagai petani. Kabupaten Kuningan yang merupakan
daerah pertanian yang subur dan sebagai
penghasil berbagai hasil bumi unggulan. Tetapi ketika kekeringan melanda
akibat kemarau yang panjang, semua menjadi berubah. Hutan mengering, sumber air
menghilang, lahan pertanian pun tidak lagi subur. Inilah yang mendorong
masyarakat Kabupaten Kuningan , khususnya masyarakat di Kecamatan Luragung
menggelar berbagai ritual guna meminta hujan yang diawali dengan sintren. Dari
ritual tersebut diperoleh ’’wangsit’’,agar masyarakat menggelar ritual Cingcowong. Penyelenggaraan ritual biasanya dilaksanakan
pada malam jumat sekitar pukul 17.00. Pada zaman dahulu, upacara cingcowong
dilaksanakan pada waktu kemarau panjang.
Semakin
berkembangnya pengetahuan masyarakat tentang Agama Islam, kepercayaan ini
semakin luntur, sehingga sekarang hanya dianggap sebagai budaya atau kebiasaan
saja meskipun menurut masyarakat apabila ritual ini diselenggarakan hujan
memang turun.
Tahun 2004 hingga
sekarang cingcowong ditampilkan dalam bentuk seni tari untuk menghindari
musyrik. di era sekarang cingcowong disajikan secara lebih modern
sehingga mengurangi esensi upacaara memanggil hujan Cingcowong
dapat dipentaskan kapan dan dimana
saja dengan tujuan yang lebih
umum dan terkesan lebih komersil.
Nawita satu-satunya
seniman Cingcowong yang berjasa mengembalikan kesenian ritual ini di Kabupaten
Kuningan. Wanita berusia 68 tahun itu berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai
tradisi masyarakat Blok Wage Desa Luragung Landeuh, Kecamatan Luragung,
Kabupaten Kuningan ratusan tahun lalu itu agar tidak punah.
Nawita sering tampil
memainkan Cingcowong dalam berbagai acara, bahkan dia tak jarang pula
mendapatkan undangan untuk tampil berkolaborasi lewat sebuah tarian Cingcowong
seperti dalam pagelaran Seni dan Kebudayaan mulai tingkat Kecamatan, kabupaten,
bahkan pertunjukan di Cirebon dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Berkat Nawita,
Cingcowong yang dulu hanya ditampilkan pada acara ritual pemanggil hujan, kini
menjadi tontonan masyarakat. Bahkan, seniman lain di Kuningan berupaya untuk
mengadopsi Cingcowong menjadi sebuah tarian yakni Tari Cingcowong. Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan pun turut serta melestarikan
kembali Cingcowong.
Sumber dan Dokumentasi
diambil dari :
Skripsi Edi Kusnadi (STSI 2001) SENI
CINGCOWONG DI DESA LURAGUNG LANDEUH KECAMATAN LURAGUNG KABUPATEN KUNINGAN.